• Dangdut Nostalgia • Dangdut non-Remix • Pop Melayu • Pop Religi • Pop Indonesia • Tembang Kenangan • Pop Barat • Top40 • Oldies 60's 70's 80's 90's • Hadirkan Suasana Keakraban dan Penuh Kenangan bersama Chandra Muda Music

Dangdut pada Awalnya

MENONTON Dawai 2 Asmara, Anda pasti akan ketemu ungkapan “revolusi kedua” yang sedang digagas Rhoma Irama saat ini. Kedua? Dalam hitungan saya, setidaknya Rhoma sudah melakukan dua revolusi. Apa yang dilakukannya kini revolusi ketiga.
Revolusi Pertama
Untuk menjelaskan revolusi pertama Rhoma,
saya harus menjelaskan sedikit soal sejarah
musik yang kita kemudian kenal sebagai
dangdut. Menurut catatan William H. Frederick,
orang Amerika yang membuat riset tentang
dangdut, istilah dangdut baru mulai muncul awal
1970-an antara 1972-1973.
Nama dangdut lahir berdasarkan onomatopoeia
alias pembentukan kata berdasarkan bunyi dan
istilah yang menunjukkan ejekan —istilah yang
diambil begitu saja dari bunyi gendang. Dalam
penelitiannya, Frederick merujuk kelahiran
dangdut berakar pada musik tanjidor dan
keroncong yang lahir di masa kolonial. Kemudian
pada 1950-an populer jenis musik melayu yang
disebut Melayu Deli lewat film-film musikal aktor
Malaysia P. Ramlee yang menjadi inspirasi musisi
Said Effendi lewat film Serodja (1959). Di masa ini
lahir pula Ellya (kita mengenalnya sebagai Ellya
Khadam) yang menyanyi lagu melayu sambil
menambahi dengan unsur irama dan tekstur
bebunyian yang baru (khususnya suara
gendang, suling, dan sitar yang diambil dari
musik Arab dan India). Lagu Ellya "Boneka dari
India" (1956) sering disebut sebagai lagu dangdut
pertama meski saat itu istilah dangdut belum
digunakan. ("Boneka dari India" pernah disebut
sebagai salah satu tonggak penting musik
Indonesia karena menjadikan musik melayu
diimbuhi musik perkusi persis India. Konon,
Boneka dari India aslinya memang lagu India
Sama Hai Bahar Ka yang dinyanyikan Lata
Mangeshkar.)
Kemudian pada akhir 1960-an, sejumlah musisi
masa itu melakukan eksplorasi musik baru.
Grup-grup band itu, catat Frederick, memadukan
unsur-unsur tertentu dari tradisi keroncong dan
Melayu Deli dalam karya-karyanya. Upaya itu
menghasilkan musik kontemporer yang cukup
apik dan penyanyi-penyanyi seperti Hetty Koes
Endang, Titi Qadarsih, dan Emilia Contessa. Musik
Melayu model ini mendapat sebutan “Melayu
Mentengan” karena disukai kalangan menengah
atas saja sanbil mengacu kawasan eluit Menteng
di Jakarta Pusat.
Pada
masa itu pula, di sudut Jakarta yang lain, Tebet,
Jakarta Selatan, muncul pemuda bernama asli
Irama —nama yang lahir begitu saja dari ibunya
karena saat melahirkan di Tasikmalaya, Jawa
Barat tahun 1946 sang ibu baru pulang dari
pertunjukkan musik di lapangan terbuka —yang
baru saja meninggalkan musik rock dan jatuh
cinta pada musik melayu. Pria itu akhirnya
memilih nama Oma Irama —yang kemudian
menambahi gelar Raden (karena memang ia
keturunan bangsawan, ayahnya kapten angkatan
darat Raden Burga Anggawirya) dan Haji setelah
naik haji dan melengkapinya jadi Rhoma Irama.
Pada 1971, Oma yang sudah menguasai musik
melayu dan sebelumnya suka musik rock
mendirikan Soneta Group. Di sini Oma
melakukan revolusi pertamanya:
menggabungkan unsur musik melayu (yang
sudah dicampur antara Melayu Deli dan India)
dengan musik rock. Orang kemudian menyebut
musik itu sebagai dangdut.
Di majalah Rolling Stone Indonesia (Desember
2007), pengamat musik Denny Sakrie menulis,
Oma melakukan “eksperimen menyelusupkan
atmosfer hard-rock dan jelulur musik musik
dangdutnya. ” Denny memberi contoh, “raungan
gitar elektrik yang dimainkannya jelas mengacu
pada musik rock, terutama pengaruh Ritchie
Blackmore, gitaris Deep Purple. ”
Selama 1971-1975, Oma mengepakkan sayap
dangdut ke level berikut. Revolusinya sempat
dicibir. Pihak musik dangdut tak menganggapnya
musik melayu murni karena diselipi musik rock.
Oleh kalangan musik rock, eksperimennya ditolak
mentah-mentah. Ia dicerca, dihina, hingga konon
setiap tampil dilempari batu oleh penggemar
musik rock. Tapi Oma tak gentar. Ia kemudian
malah jadi pemenang. Musisi rock Achmad Albar
merilis album dangdut “Zakia” (1979).
Revolusi Kedua
Revolusi jilid dua Oma
Irama terjadi usai ia
membintangi film
Penasaran (1976). Kala itu,
Oma--yang sukses
mengawinkan dangdut
dan rock—naik haji. Di
periode ini ia mengganti
namanya jadi Rhoma
Irama.
Periode Oma sebagai
Rhoma adalah periode
ketertarikan sang biduan
pada Islam. Ia sepertinya
sadar musik (dan film)
bisa jadi sarana dakwah efektif. Musik dangdut
versinya bisa dipakainya melantunkan musik-
musik bersyair islami. Lewat album dan film Gitar
Tua (1977), Rhoma menyodorkan lagu Kiamat
dan dari album dan film Raja Dangdut, Rhoma
menyodorkan musik yang impresif berisi surat
Al-Ikhlas dan syair yang kurang lebih adalah
terjemahannya: Katakan Tuhan itu satu/ Tuhan
tempat menyembah dan tempat meminta/
Katakan Tuhan itu satu/ Tuhan tidak beranak dan
tak diperanakkan/ Lailaha ilallah, tiada Tuhan
selain Allah.
Frederick menekankan, yang penting dicatat dari
lagu itu, di samping temponya yang cepat dan
kaya warna, lagu religi itu salah satu lagu favorit
untuk berjoged. Ini tak pernah terjadi
sebelumnya, lagu religi asyik dipakai berjoged.
Hal ini juga menandai bahwa dakwah Rhoma
bukanlah dakwah kaum salaf melainkan dakwah
populer. Lagu “Haram” misalnya, sangat asyik
untuk direnungkan juga berjoged: “Kenapa e
kenapa minuman itu haram/ Karena e karena
merusak pikiran. ”
Selain aktif menulis lagu religi, tema-tema lagu
Rhoma kemudian juga berisi sentilan kritik sosial.
Lagu “Hak Asasi” misalnya, memiliki syair seperti
ini: Walaupun harus nyawa sebagai taruhan/
Banyak orang rela cuma karena rupiah.
Di paruh kedua tahun 1970-an Rhoma adalah
sang raja dangdut. Ia sadar akan status besarnya
ini. Lewat pengaruhnya yang besar, Rhoma yang
makin mempelajari Islam dan kemudian juga
bergabung sebagai kader Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) —satu-satunya partai Islam
di era Orde Baru—mantap memilih jalur dakwah
lewat musik dangdut. Tidak hanya di musik, film-
film Rhoma yang lahir sejak akhir 1970-an hingga
yang sekarang selalu dipenuhi unsur dakwah.
Film Nada & Dakwah (1991) adalah contoh jelas
kolaborasi dakwah (menampilkan kyai Zainuddin
MZ) dan nada (Rhoma).
Revolusi Ketiga (?)
Syahdan, musik dangdut kemudian melahirkan
berbagai cabang dan bintang-bintang baru. Dari
Pasuruan, Jawa Timur tersebutlah seorang
penyanyi dangdut yang kerjanya menyanyi
dangdut di pesta kawainan dari kampung ke
kampung bernama panggung Inul Daratista.
Inul tak sekedar menyanyi. Tapi juga meliukkan
badan mengundang decak dan berahi penonton.
Inul kemudian ngetop hingga ke Jakarta dan
seluruh Indonesia. Sang raja dangdut —yang
tentu bertugas sebagai pengawal moral musik
yang ikut diciptakannya —gerah. Rhoma, sang
raja itu, menyampaikan titahnya mengecam Inul.
Inul yang kecil takluk dan mencium tangan sang
raja. Tapi jika sang raja mengira kali ini sudah
menang, salah besar. Publik kita yang terbiasa
bersimpati pada yang lemah dan teraniaya
memberi dukungan pada Inul. Lagipula, bahkan
sang raja tak bisa membendung bahwa dangdut
sudah berkembang sedemikian rupa dicampur
tarian yang mengundang birahi. Goyang Inul
bukan satu-satunya. Ada goyang patah-patah,
goyang kayang, goyang gergaji, dan entah apa
lagi. Dangdut gaya Rhoma dan penyanyi-
penyanyi lain yang sopan tergusur.
Cobaan pada dangdut gaya santun tak cukup
sampai di situ. Kemudian, dari musik pop lahir
band-band yang mampu melego album lebih
dari sejuta kopi seperti Sheila on 7, Padi,
Peterpan, hingga Samsons. Orang kemudian
ramai-ramai bikin band.
Kini adalah eranya musik pop, terutama musik-
musik dari band pop. Televisi mengusir dangdut
dan menggantinya dengan acara musik pop.
Hingga kini Rhoma masih konsisten dengan
langkahnya mencekal Inul dulu. Kepada Kompas
(19/9/2010), Rhoma menuding salah satu
penyebab menyurutnya dangdut karena
maraknya erotisisme yang menyertai
penampilan artis dangdut.
Maka, kini Rhoma menggagas revolusi dangdut
lagi. Revolusi yang disebutnya yang kedua —tapi
sebetulnya ketiga jika mengacu pada dua revolusi
di atas.
Revolusi itu dijalankannya dengan sang putra,
Rhido Roma. Menonton Dawai 2 Asmara kita
akan mengerti bahwa di balik kemunculan Rhido
dan Sonet 2 band adalah jawaban Rhoma untuk
kemunduran musik dangdut saat ini.
Jika pada 1970-an Rhoma mengawinkan musik
melayu dengan rock, maka kali ini ia
mengaawinkan dangdut dengan musik milik
band-band musik pop. Rhido dan Sonet 2 band,
kata Rhoma di film Dawai, pada hakikatnya
adalah formasi band —ada vokalis, penabuh gitar,
dan drum. Tapi yang membedakannya,
musiknya dangdut. Lagu-lagu Rhoma didaur
ulang dengan aransemen baru, diberi unsur
musik pop kental seperti tabuhan drum dan
bukan gendang atau suling.
Rhido, sang pangeran dangdut, berhasil mencuri
perhatian lewat single “Menunggumu” dua tahun
lalu. Sukses itu berlanjut dengan rilis film Dawai 2
Asmara kini. Memang, untuk film hasilnya belum
kelihatan sukses. Dari 4 film yang rilis bersamaan
di saat lebaran, Dawai ada di urutan ke-empat.
Revolusi paling anyar dari Rhoma belum
kelihatan hasilnya kini. Tapi kita lihat saja nanti.
Siapa tahu sang pangeran memang jadi putra
mahkota yang tepat untuk meneruskan tongkat
estafet musik dangdut dari sang raja.
Seperti kota Roma yang tidak dibangun dalam
satu malam, revolusi dangdut ketiga pun takkan
kelihatan hasilnya dalam sekali dobrak lewat
single “Menunggumu” dan Dawai 2 Asmara.
Yang diperlukan Rhoma dan Ridho adalah tetap
konsisten dan berjuang terus. Rhoma sudah
berhasil sebelumnya. Kali ini pun ia bisa berhasil
lagi. Atau justru gagal?

0 Komentar:

Posting Komentar

  © www.chandramuda.blogspot.com Created by RC 2010

Back to TOP